Pengertian Pragmatis: Memahami Arti dari Perspektif Bahasa dan Tindakan Komunikatif
Pengertian Pragmatis
Pengertian Pragmatis adalah sebuah teori filosofis yang menyatakan bahwa nilai kebenaran sebuah pernyataan tergantung pada kegunaan praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Pragmatis merupakan sebuah pendekatan dalam penelitian keilmuan yang memiliki fokus pada konsekuensi dan implikasi praktis dari suatu pernyataan.
Dalam konteks bahasa sehari-hari, pragmatis membahas bagaimana konteks, tujuan, dan efek interaksi dapat mempengaruhi komunikasi yang terjadi antara pemakai bahasa. Pragmatis menyatakan bahwa pesan yang disampaikan dalam sebuah pernyataan tidak hanya bergantung pada makna literal kata-kata tersebut, namun juga bergantung pada situasi atau konteks di mana pernyataan tersebut digunakan.
Pragmatis juga berhubungan dengan aspek sosiolinguistik, yaitu bagaimana faktor sosial, seperti budaya dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat, mempengaruhi pemahaman dan penggunaan bahasa. Dalam kajian pragmatis, penting untuk memahami bahwa makna sebuah pernyataan tidak hanya terbatas pada kata-kata yang digunakan, tetapi juga melibatkan faktor kontekstual yang dapat berbeda-beda antara individu atau kelompok sosial.
Salah satu teori yang terkait dengan pragmatis adalah teori implikatur percakapan yang dikembangkan oleh seorang filsuf pragmatik bernama Paul Grice. Teori ini mengemukakan bahwa dalam sebuah percakapan, terdapat asumsi yang tidak secara langsung diucapkan, tetapi dapat disimpulkan oleh pendengar melalui penggunaan konvensi percakapan atau prinsip kerjasama. Prinsip kerjasama ini berperan penting dalam memahami implicature, yang merupakan makna tersembunyi atau implisit yang terkandung dalam sebuah pernyataan.
Dalam teori pragmatis, terdapat juga istilah maksim kooperatif yang diusulkan oleh Grice. Maksim kooperatif mengacu pada empat prinsip utama dalam berkomunikasi, yaitu prinsip kuantitas (memberikan informasi yang sejelas dan sejumlah yang cukup), prinsip kualitas (berbicara dengan kebenaran), prinsip relevansi (berbicara dengan topik yang relevan), dan prinsip cara (berbicara dengan cara yang jelas, teratur, dan berurutan).
Misalnya, jika seseorang berkata “Apakah ada air minum di sini?”, dalam konteks yang kooperatif, pendengar dapat menyimpulkan bahwa penutur meminta air minum. Namun, jika penutur sebenarnya ingin meminta tolong untuk mengisi gelasnya dengan air, maka maksim kooperatif dalam pragmatik akan membantu pendengar untuk memahami makna yang sebenarnya dari pertanyaan tersebut.
Pragmatis tidak hanya memiliki aplikasi dalam bahasa sehari-hari, tetapi juga dalam bidang-bidang lain seperti ilmu politik, ekonomi, dan hukum. Dalam ilmu politik, pragmatis digunakan dalam menganalisis alasan di balik pernyataan-pernyataan politik dan bagaimana pernyataan tersebut mempengaruhi opini publik. Dalam ekonomi, teori pragmatik digunakan untuk mempelajari perilaku konsumen dan produsen, serta implikasi-pragmatis dari kebijakan ekonomi. Sementara dalam hukum, pragmatis digunakan untuk mempertimbangkan implikasi dan konsekuensi praktis dari undang-undang dan aturan hukum.
Dalam konteks Indonesia, pragmatis juga dapat diamati dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Misalnya, penggunaan bahasa yang sopan dan santun dalam berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau yang memiliki kedudukan lebih tinggi merupakan bentuk pragmatis dalam budaya Indonesia. Selain itu, pemahaman pragmatis juga membantu dalam menginterpretasikan ungkapan atau pernyataan yang memiliki nuansa atau makna khusus dalam budaya Indonesia.
Dalam kesimpulannya, penting untuk memahami konsep pragmatis dalam komunikasi bahasa. Pragmatis memperhatikan konteks, tujuan, dan implikasi praktis dari sebuah pernyataan, yang dapat meningkatkan pemahaman dan efektivitas komunikasi antara individu atau kelompok sosial. Dalam konteks Indonesia, pragmatis juga memiliki peran yang penting dalam memahami budaya dan norma yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.
Asal Usul Pragmatisme
Pragmatisme muncul di Amerika Serikat pada abad ke-19 sebagai reaksi terhadap idealisme dalam filsafat. Namun, apa sebenarnya yang menjadi pemicu munculnya aliran pemikiran ini? Bagaimana perkembangan pragmatisme di Indonesia? Mari kita telusuri lebih dalam.
Asal usul pragmatisme dapat ditelusuri kembali ke pemikiran tokoh filsafat Amerika Serikat, Charles Saunders Peirce. Ia dilahirkan pada tahun 1839 dan dikenal sebagai bapak pragmatisme. Peirce mengkritik dominasi idealisme dalam filsafat pada saat itu, yang menganggap ide atau konsep sebagai pusat segala-galanya. Bagi Peirce, penting untuk menghubungkan ide dengan realitas dan mencari manfaat praktis dari suatu konsep atau teori.
Salah satu kontribusi utama Peirce dalam pengembangan pragmatisme adalah teori tentang tanda. Menurutnya, tanda adalah segala sesuatu yang mengarahkan kita pada suatu pemahaman tentang sesuatu yang lain. Dalam teori ini, Peirce membedakan tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Klasifikasi ini memberikan landasan bagi pemahaman tentang makna dan interpretasi suatu tanda.
Perkembangan pragmatisme kemudian melibatkan tokoh lain seperti William James dan John Dewey. James, seorang psikolog dan filsuf, mengembangkan pemikiran pragmatisme dalam bidang psikologi dan agama. Ia menekankan pentingnya pengalaman sebagai dasar penilaian manusia terhadap kebenaran dan nilai-nilai dalam hidup.
Dewey, seorang tokoh pragmatisme yang juga merupakan pendidik, memperluas pragmatisme ke bidang pendidikan. Ia menekankan pentingnya belajar melalui pengalaman dan menyesuaikan pendekatan pendidikan dengan kebutuhan peserta didik. Dewey juga mengembangkan konsep demokrasi dalam konteks pendidikan, di mana partisipasi aktif dan pemecahan masalah menjadi fokus utama.
Di Indonesia, pemikiran pragmatisme dipelajari dan dikembangkan melalui berbagai studi filsafat di perguruan tinggi. Konsep-konsep pragmatisme, seperti menghubungkan ide dengan praktik, penekanan pada pengalaman, dan adaptasi pendekatan dalam pendidikan, telah diadopsi dan diterapkan dalam berbagai konteks sosial dan budaya di Indonesia.
Seperti halnya di Amerika Serikat, pragmatisme di Indonesia juga memperoleh perkembangan melalui tokoh-tokoh seperti Henry Gurney dan Emir Maulana Ibrahim. Gurney mengembangkan pemikiran pragmatisme dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan. Ia berpendapat bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi dengan pemahaman kontekstual dan pengaplikasian praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara Ibrahim, seorang filsuf yang memiliki latar belakang keilmuan yang cukup beragam, mengembangkan pragmatisme dalam bidang politik dan sosial. Ia menyuarakan pentingnya penyesuaian pemikiran politik dengan realitas sosial dan kebutuhan masyarakat. Konsep keadilan sosial dan partisipasi aktif dalam pembangunan menjadi fokus utama pemikiran pragmatisme versi Ibrahim.
Jadi, pragmatisme di Indonesia tidak hanya merupakan pemahaman tentang konsep filsafat dari luar negeri, tetapi juga hasil kreativitas dan pengembangan pemikiran dari para tokoh Indonesia sendiri. Melalui pemikiran pragmatisme, kita diajak untuk menghubungkan teori dengan praktik, memahami makna dalam konteks yang lebih luas, dan menyesuaikan pendekatan dengan kondisi yang ada. Bagaimana pragmatisme dapat membantu kita dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah? Itu adalah pertanyaan yang perlu kita eksplorasi lebih jauh.
Pendekatan Pragmatis dalam Linguistik
Dalam linguistik, pendekatan pragmatis menekankan pentingnya konteks dan tujuan komunikasi dalam memahami makna sebuah kalimat. Pendekatan pragmatis ini melihat bahasa sebagai alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, makna sebuah kalimat tidak hanya bergantung pada struktur dan kata-katanya, tetapi lebih pada makna yang dimaksudkan oleh pembicara dan bagaimana makna tersebut dipahami oleh pendengar.
Salah satu aspek penting dari pendekatan pragmatis adalah penerapannya dalam analisis wacana. Ketika menganalisis wacana, pendekatan pragmatis melibatkan pemahaman konteks sosial dan budaya di mana komunikasi terjadi. Dalam analisis pragmatik, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti status sosial, peran, dan hubungan antara pembicara dan pendengar. Hal ini akan membantu memahami implikasi makna yang tidak terlihat dalam kalimat itu sendiri.
Sebagai contoh, dalam budaya Indonesia, terdapat penggunaan bahasa yang berbeda antara situasi formal dan informal. Dalam situasi formal, penggunaan bahasa yang sopan dan menghormati adalah penting. Pembicaraan yang lebih santai dan akrab mungkin lebih sesuai dalam situasi informal. Dalam hal ini, pemahaman konteks yang tepat akan membantu dalam menafsirkan makna yang dimaksudkan oleh pembicara dan mencegah kesalahpahaman.
Pendekatan pragmatis juga mempertimbangkan tujuan komunikasi dalam memahami makna sebuah kalimat. Tujuan pembicara dapat berbeda-beda dalam setiap situasi komunikasi, seperti menyampaikan informasi, meminta bantuan, atau mengungkapkan emosi. Pemahaman tujuan komunikasi ini akan membantu mendapatkan makna yang sebenarnya dari sebuah kalimat.
Selain itu, pendekatan pragmatis juga memperhatikan aspek non-verbal dalam komunikasi, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan intonasi suara. Aspek non-verbal ini dapat memberikan petunjuk penting tentang makna sebenarnya dari sebuah kalimat. Misalnya, kata-kata yang sama dapat memiliki makna yang berbeda bergantung pada intonasi dan ekspresi wajah pembicara.
Pendekatan pragmatis juga berguna dalam memahami humor dan cara berkomunikasi yang tidak langsung. Dalam humor, makna seringkali tidak terlihat secara langsung dan membutuhkan pemahaman konteks serta pengetahuan tentang budaya dan norma yang berlaku. Begitu juga dengan komunikasi yang tidak langsung, di mana makna yang dimaksudkan tidak diungkapkan secara eksplisit tetapi tersirat dalam konteks dan situasi komunikasi.
Dalam linguistik, pendekatan pragmatis memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dan kontekstual dalam memahami makna sebuah kalimat. Pendekatan ini mengakui pentingnya konteks dan tujuan komunikasi, serta memperhatikan aspek non-verbal dan faktor-faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi komunikasi. Dengan menggunakan pendekatan pragmatis, kita dapat memahami dan menafsirkan makna yang lengkap dan akurat dari kalimat-kalimat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Karakteristik Pragmatis
Dalam bahasa pragmatika, pendekatan pragmatis adalah suatu pendekatan yang menitikberatkan pada konsekuensi yang dihasilkan dari suatu pernyataan, serta konteks sosial di mana pernyataan tersebut digunakan. Pendekatan ini melihat bahasa sebagai alat yang digunakan untuk mencapai tujuan komunikasi, bukan hanya sekadar menyampaikan isi pesan secara literal. Ada beberapa karakteristik utama yang menjadi bagian integral dari pendekatan pragmatis tersebut.
Pertama, konteks menjadi hal yang sangat penting dalam pendekatan pragmatis ini. Konteks sosial, situasional, dan budaya sangat mempengaruhi pemahaman dan interpretasi pesan yang disampaikan. Pernyataan yang sama dapat memiliki makna yang berbeda tergantung pada konteks di mana pernyataan tersebut ditempatkan. Sebagai contoh, kalimat sederhana seperti “Kamu mau makan?” dapat memiliki interpretasi yang berbeda jika dikatakan kepada teman di restoran atau kepada kolega di tempat kerja.
Kedua, pragmatik menekankan pada aspek kognitif dalam komunikasi. Pendekatan pragmatis mempertimbangkan bagaimana penutur dan pendengar memproses informasi serta menggunakan pengetahuan dan keyakinan mereka untuk memahami dan menafsirkan pesan. Pragmatik mengakui bahwa dalam komunikasi, pengetahuan dan keyakinan individu dapat mempengaruhi pemahaman dan interpretasi pesan yang disampaikan.
Tujuan adalah karakteristik penting lainnya dalam pendekatan pragmatis. Pragmatik melihat bahasa sebagai alat untuk mencapai tujuan komunikasi yang lebih luas. Maksud dan tujuan yang ingin dicapai dengan penggunaan bahasa sangat berpengaruh dalam interpretasi pesan. Sebagai contoh, ketika seseorang meminta tolong, tujuan utama dari pernyataan tersebut adalah mendapatkan bantuan, bukan sekadar menyampaikan informasi bahwa ia membutuhkan bantuan.
Karakteristik lainnya adalah adanya asumsi yang tersirat dalam komunikasi. Banyak informasi yang tidak secara eksplisit disampaikan tetapi dianggap diketahui atau dimengerti oleh penutur dan pendengar. Asumsi-asumsi ini dapat menjaga keefektifan dan keefisienan komunikasi. Sebagai contoh, ketika seseorang berkata “Sudah makan?” dalam budaya Indonesia, pertanyaan tersebut sering kali mengekspresikan perhatian dan mengharapkan jawaban “Sudah” sebagai asumsi.
Lebih lanjut, pendekatan pragmatis juga memperhatikan penggunaan gaya berbahasa atau tutur yang sesuai dengan situasi. Masing-masing situasi membutuhkan gaya komunikasi yang berbeda-beda. Berbicara dengan atasan di tempat kerja memerlukan penggunaan bahasa yang lebih resmi dan sopan, sedangkan berbicara dengan teman dekat mengizinkan penggunaan bahasa yang lebih santai dan informal.
<
Terakhir, dalam pendekatan pragmatis juga terdapat kemampuan adaptasi dan fleksibilitas yang diperlukan dalam komunikasi. Penutur bahasa harus mampu mengubah gaya komunikasi mereka, berdasarkan pada siapa mereka berbicara, konteks situasional, dan tujuan komunikasi yang ingin dicapai. Kemampuan ini memungkinkan komunikasi yang efektif dan efisien, serta meminimalkan terjadinya kesalahpahaman.
Secara kesimpulan, pendekatan pragmatis memiliki beberapa karakteristik penting, seperti penekanan pada konteks, aspek kognitif, tujuan komunikasi, asumsi tersirat, penggunaan gaya berbahasa yang sesuai, dan adaptasi yang fleksibel. Dengan mempertimbangkan karakteristik-karakteristik ini, pendekatan pragmatis membantu dalam memahami dan menginterpretasikan pesan dengan lebih efektif dalam konteks sosial dan situasional yang berbeda-beda.
5. Pentingnya Pragmatisme dalam Menghadapi Tantangan Kehidupan
Sebagai individu, kita sering dihadapkan pada berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Tantangan tersebut bisa berupa masalah keuangan, karier, hubungan interpersonal, atau bahkan kesehatan. Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, penting bagi kita untuk menerapkan pragmatisme dalam pengambilan keputusan. Mengapa pragmatisme begitu penting?
Pertama-tama, pragmatisme mengajarkan kita untuk melihat realitas dan fakta-fakta yang ada. Dalam menghadapi tantangan, seringkali kita terjebak dalam pemikiran dan harapan yang tidak realistis. Pragmatisme mengingatkan kita bahwa harapan-harapan yang tidak realistis hanya akan membuat kita mengalami kekecewaan dan frustrasi. Dengan melihat realitas yang ada, kita dapat mengambil keputusan yang lebih rasional dan berdaya guna dalam menghadapi tantangan tersebut.
Kedua, pragmatisme membantu kita mengidentifikasi solusi yang paling praktis dan efektif. Dalam menghadapi tantangan, seringkali terdapat banyak pilihan yang tersedia. Namun, tidak semua pilihan tersebut akan memberikan hasil yang sama efektifnya. Melalui pendekatan pragmatis, kita akan lebih fokus untuk mencari solusi yang paling sedikit membuang waktu, energi, dan sumber daya. Dengan demikian, kita dapat mengambil keputusan yang lebih efisien dan efektif dalam menghadapi tantangan tersebut.
Ketiga, pragmatisme mengajarkan kita untuk memprioritaskan kepentingan utama. Dalam menghadapi tantangan, seringkali kita dihadapkan pada banyak kepentingan yang saling bertabrakan. Tanpa adanya pengambilan keputusan yang pragmatis, kita cenderung membuang-buang waktu dan energi dalam menyelesaikan semua masalah yang ada. Pragmatisme mengajarkan kita untuk mengidentifikasi dan memilih kepentingan yang paling penting dan mendesak. Dengan memprioritaskan kepentingan utama, kita dapat mengalokasikan waktu dan sumber daya dengan lebih efisien serta menghindari kelelahan dan kebingungan yang tidak perlu.
Keempat, pragmatisme membantu kita mengantisipasi konsekuensi-konsekuensi dari keputusan yang diambil. Setiap keputusan yang diambil dalam menghadapi tantangan akan memiliki konsekuensi-konsekuensi yang harus dihadapi. Dengan pendekatan pragmatis, kita akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan dan memperhitungkan segala kemungkinan risiko yang terkait. Dengan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi tersebut, kita dapat mengambil keputusan yang paling bijaksana dan meminimalkan potensi kerugian.
Terakhir, pragmatisme mengajarkan kita untuk tetap terbuka terhadap perubahan dan adaptasi. Dalam menghadapi tantangan, seringkali kita dihadapkan pada situasi yang terus berubah dan dinamis. Pragmatisme mengajarkan kita untuk tidak mengikat diri kita pada satu solusi atau pendekatan tertentu. Sebaliknya, kita perlu terbuka terhadap berbagai kemungkinan dan siap untuk beradaptasi jika situasi mengharuskannya. Dengan fleksibilitas dan keterbukaan, kita akan lebih siap menghadapi tantangan dan menemukan solusi yang paling relevan dan efektif.
Secara keseluruhan, pentingnya pragmatisme dalam menghadapi tantangan kehidupan tidak dapat diabaikan. Dengan menerapkan pendekatan pragmatis, kita dapat mengambil keputusan yang lebih rasional, efisien, dan efektif. Pragmatisme membantu kita melihat realitas, mencari solusi yang praktis, memprioritaskan kepentingan utama, mengantisipasi konsekuensi, serta tetap terbuka terhadap perubahan. Dengan demikian, kita akan lebih siap dan mampu menghadapi tantangan kehidupan dengan kepala tegak dan langkah yang mantap.